Countdown To Hana & Adji's Wedding Day | A day to Remember Forever

Search This Blog

BAB II (Skripsi : Peranan Audit Internal dan Manajemen Risiko terhadap Efektivitas Pengelolaan Kredit pada PT. Home Credit Indonesia)


Created By : Hana Lidyana (1234.0310.75)
Fakultas Ekonomi - Jurusan Akuntansi
Universitas Krisnadwipayana
Jakarta
2017

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1.            AUDITING
2.1.1.           Pengertian Auditing
Auditing merupakan salah satu atestasi. Atestasi, pengertian umumnya merupakan suatu komunikasi dari seorang expert mengenai kesimpulan tentang realibilitas dari pernyataan seseorang.
Menurut Sukrisno Agoes (2012:4), mendefinisikan auditing adalah :
“Suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis, oleh pihak yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.”
Sedangkan menurut Messier, Clover dan Prawitt (2014:12), adalah :
“Auditing adalah proses yang sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai asersi-asersi tentang kegiatan dan peristiwa ekonomi untuk menetukan tingkat kesesuaian antara asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang ditetapkan dan mengkomunikasikan hasil-hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.”
Dilihat pendapat dari Konrath dalam Sukrisno Agoes (2012:2), mendefinisikan auditing sebagai suatu proses sistematis untuk secara objektif mendapatkan untuk mengevaluasi bukti mengenai asersi tentang kegiatan-kegatan dan kejadian-kejadian ekonomi untuk meyakinkan tingkat ditetapkan dan mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
2.1.2.           Jenis-jenis Audit
Dalam Sukrisno Agoes (2012:10), ditinjau dari luasnya pemeriksaan, audit bisa dibedakan atas :
1.      Pemeriksaan Umum (General Audit)
Suatu pemeriksaan umum atas laporan keuangan yang dilakukan oleh KAP (Kantor Akuntan Publik) independen dengan tujuan untuk bisa memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pemeriksaan tersebut harus sesuai dengan Standar Professional Akuntan Publik dan memperlihatkan kode etik akuntan Indonesia, aturan etika KAP yang telah disahkan Ikatan Akutan Indonesia serta Standar Pengendalian Mutu.
2.      Pemeriksaan Khusus (Special Audit)
Suatu pemeriksaan terbatas (sesuai dengan permintaan audience) yang dilakukan oleh KAP yang independen, dan pada akhir pemeriksaannya auditor tidak perlu memberikan pendapat terhadap kewajaran laporan keuangan secara keseluruhan. Pendapat yang diberikan terbatas pada pos atau masalah tertentu yang diperiksa, karena prosedur audit yang dilakukan juga terbatas, misalnya KAP diminta untuk memeriksa apakah terdapat kecurangan pada penagihan piutang usaha perusahaan.
Dalam Sukrisno Agoes (2012:11-13), ditinjau dari jenis pemeriksaan, audit bisa dibedakan atas :

1.      Manajemen Audit (Operational Audit)
Suatu pemeriksaan terhadap kegiatan operasi suatu perusahaan, termasuk kebijakan akuntansi dan kebijakan operasional yang telah ditentukan oleh manajemen, untuk mengetahui apakah kegiatan operasi tersebut sudah dilakukan secara efektiv, efisien dan ekonomis.
2.      Pemeriksaan Ketaatan (Compliance Audit)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mengetahui apakah perusahaan sudah mentaati peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang berlaku, baik yang ditetapkan oleh pihak intern perusahaan (manajemen, dewan komisaris) maupun pihak eksternal (Pemerintah, Bapepam, Bank Indonesia, Direktorat Jendral Pajak, dan lain-lain). Pemeriksaan bisa dilakukan oleh KAP maupun bagian internal audit.
3.      Pemeriksaan Intern (Internal Audit)
Pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen yang telah ditentukan. Pemeriksaan umum yang dilakukan internal auditor biasanya lebih rinci dibandingkan dengan pemeriksaan umum yang dilakukan oleh KAP. Internal auditor biasanya tidak memberikan opini terhadap kewajaran laporan keuangan, karena pihak-pihak diluar perusahaan, tidak independen. Laporan internal auditor berisi temuan pemeriksaan (audit finding) mengenai penyimpangan dan kecurangan yang ditemukan, kelemahan pengendalian intern, beserta saran-saran perbaikannya (recommendation)
4.      Computer Audit
Pemeriksaan oleh KAP terhadap perusahaan yang memproses data akuntansinya dengan menggunakan Electronic Data Processing (EDP) sistem.
2.1.3.           Standar Auditing
Pada tanggal 1 Januari 2013, Indonesia secara resmi mengadopsi International Standards on Auditing (ISA) yang diterbitkan oleh International Auditing and Assurance Standards Board (IAASB) sebagai standar audit yang baru. Walaupun isinya mengandung banyak persamaan, sistematika dan struktur SPAP yang sekarang berlaku sangat berbeda bila dibandingkan dengan SPAP yang berlaku sebelumnya.
Menurut IAASB dalam Hery (2016:29), isi dari standar audit yang telah diberlakukan IAASB dan diadopsi oleh IAPI, adalah :
1.      Prinsip Umum dan Tanggung Jawab:
a.       SA 200: Tujuan Keseluruhan Auditor Independen dan Pelaksanaan Suatu Audit Berdasarkan Standar Audit
b.      SA 210: Persetujuan atas Syarat-syarat Perikatan Audit
c.       SA 220: Pengendalian Mutu untuk Audit atas Laporan Keuangan
d.      SA 230: Dokumentasi Audit
e.       SA 240: Tanggung Jawab Auditor terkait dengan Kecurangan dalam suatu Audit atas Laporan Keuangan
f.       SA 250: Pertimbangan atas peraturan perundang-undangan dalam audit atas Laporan Keuangan
g.      SA 260: Komunikasi dengan Pihak yang Bertanggung jawab atas Tata Kelola
h.      SA 265: Pengkomunikasian Defisiensi dalam Pengendalian Internal kepada pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola dan manajemen.
2.      Penilaian Risiko dan Respons terhadap Risiko yang telah Dinilai:
a.       SA 300: Perencanaan Audit atas Laporan Keuangan
b.      SA 315: Pengidentifikasian dan Penilaian Risiko salah saji material melalui pemahaman atas entitas dan lingkungannya
c.       SA 320: Materialitas dalam Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan Audit
d.      SA 330: Respons Auditor terhadap Risiko yang dinilai
e.       SA 402: Pertimbangan audit terkait dengan entitas yang menggunakan organisasi jasa
f.       SA 450: Pengevaluasian atas kesalahan penyajian yang diidentifikasi selama audit
3.      Bukti Audit:
a.       SA 500: Bukti Audit
b.      SA 501: Bukti audit-Pertimbangan Spesifik atas unsur pilihan
c.       SA 505: Konfirmasi Ekseternal
d.      SA 510: Perikatan Audit Tahun Pertama – Saldo Awal
e.       SA 520: Prosedur Analitis
f.       SA 530: Sampling Audit
g.      SA 540: Audit atas estimasi akuntansi, termasuk estimasi akuntansi nilai wajar, dan pengungkapan yang bersangkutan
h.      SA 550: Pihak Berelasi
i.        SA 560: Peristiwa Kemudian
j.        SA 570: Kelangsungan Usaha
k.      SA 580: Representasi Tertulis
4.      Penggunaan Hasil Pekerjaan Pihak Lain:
a.       SA 600: Pertimbangan khusus – audit atas laporan keuangan grup (termasuk pekerjan auditor komponen)
b.      SA 610: Penggunaan Pekerjaan Auditor Internal
c.       SA 620: Penggunaan Pekerjaan Seorang Pakar Auditor
5.      Kesimpulan Audit dan Pelaporan:
a.       SA 700: Perumusan Opini dan Pelaporan atas Laporan Keuangan
b.      SA 705: Modifikasi terhadap Opini dalam Laporan Keuangan
c.       SA 706: Paragraf Penekanan suatu hal dan paragraf hal lain dalam laporan auditor Independen
d.      SA 720: Tanggung jawab Auditor atas Informasi Lain dalam Dokumen yang berisi Laporan Keuangan Auditan
6.      Area Khusus:
a.       SA 800: Pertimbangan Khusus – Audit atas laporan keuangan yang disusun sesuai dengan kerangka bertujuan khusus
b.      SA 805: Pertimbangan Khusus – Audit atas laporan keuangan tunggal dan unsur, akun, atau pos spesifik dalam suatu laporan keuangan
c.       SA 810: Perikatan untuk melaporkan ikhtisar laporan keuangan

2.2.            AUDIT INTERNAL
2.2.1.           Pengertian Audit Internal
Jika merujuk pada penjelasan sebelumnya mengenai pengertian audit, kali ini dijelaskan oleh Hery (2016:4) mengenai pengertian audit internal yaitu auditor yang bekerja pada satu manajemen perusahaan sehingga berstatus sebagai karyawan dari perusahaan tersebut, dimana perannya adalah memberika pengawan serta penilaian secara ters menerus.
Pendapat lain datang dari Sukrisno Agoes (2012:204) menjelaskan :
Internal audit (pemeriksaan intern) adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan, terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan maupun ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketentuan-ketentuan dari ikatan profesi yang berlaku. Peraturan pemerintah misalnya peraturan di bidang perpajakan, pasar modal, lingkungan hidup, perbankan, perindustrian, investasi, dan lain- lain.”
Definisi Audit Internal menurut Sawyer (2012:10), menyebutkan :
“Internal auditing is a systematic, objective appraisal by internal auditor of the diverse operating and controls within organization to determine whether (1) financial and operating information is accurate and reliable; (2) external regulation and acceptable internal polices and procedures are followed; (3) resources are used efficienly and economically.”
(Internal audit adalah penilaian yang sistematis dan objektif yang dilakukan auditor internal terhadap operasi dan kontrol yang berbeda-beda dalam organisasi untuk menentukan apakah (1) informasi keuangan dan operasi telah akurat dan dapat diandalkan; (2) peraturan eksternal serta kebijakan dan prosedur internal yang bisa diterima telah diikuti; (3) sumber daya telah digunakan secara efisien dan ekonomis.)
Audit internal dilakukan oleh seseorang yang berasal dari dalam organisasi yang bersangkutan yang disebut dengan auditor internal. Keberadaan profesi auditor internal didalam suatu organisasi membantu perusahaan mencapai tujuannya dengan pendekatan yang sistematis dan ketat agar dapat melakukan evaluasi dan peningkatkan efektivitas terhadap manajemen risiko, pengendalian dan proses tata kelola.
2.2.2.           Ruang Lingkup Audit Internal
Ruang lingkup audit internal menilai keefektifan sistem pengendalian internal serta pengevaluasian terhadap kelengkapan dan keefektifan sistem pengendalian internal yang dimiliki organisasi, serta kualitas pelaksanaan tanggung jawab yang diberikan.
Menurut Hery (2016:281), Tujuan daripada audit internal adalah :
1.      Mereview keandalan (realibilitas dan intergritas) informasi financial dan operasional serta cara yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, mengklasifikasi dan melaporkan hal tersebut.
2.      Mereview berbagai sistem yang telah ditetapkan untuk memastikan kesesuaiannya dengan berbagai kebijaksanaan, rencana, prosedur hukum, dan peraturan yang dapat berakibat penting terhadap kegiatan organisasi serta harus menentukan apakah organisasi telah mencapai kesesuaian dengan hal-hal tersebut.
3.      Mereview berbagai cara yang dipergunakan untuk melindungi harta.
4.      Menilai keekonomisan dan keefisienan penggunaan berbagai sumber daya.
5.      Mereview berbagai operasi atau program untuk menilai apakah hasilnya akan konsisten dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan apakah kegiatan atau program tersebut dilaksanakan sesuai dengan yang direncanakan.
Untuk melaksanakan tugasnya audit internal mempunyai batasan ruang lingkup pekerjaan yang akan dilaksanakan, yaitu :
1.        Kepatuhan (compliance)
Merupakan salah satu unsur audit internal yang bertujuan untuk menentukan dan mengawasi apakah pelaksanaan aktivitas-aktivitas dalam perusahaan telah dilaksanakan sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan perusahaan.
2.        Verifikasi (verification)
Verifikasi merupakan aktivitas pemeriksaan terhadap dokumen, catatan dan laporan, apakah hal-hal tersebut telah mencerminkan keadaan yang sebenarnya. Umumnya verifikasi dilakukan atas:
a.       Catatan dan laporan akuntansi, dan
b.      Aktiva, hutang serta modal dan hasil operasi perusahaan.
3.        Evaluasi (evaluation)
Kegiatan ini merupakan tanggung jawab internal auditor yang paling penting dan paling sulit diukur hasilnya. Evaluasi mencakup dua fungsi, yaitu penilaian terhadap pelaksanaan dari berbagai tingkat manajemen dan penilaian terhadap pengendalian internal yang berjalan dalam perusahaannya.
2.2.3.           Standar Atribut Audit Internal
Berikut ini adalah standar atribut yang harus dimiliki oleh seorang Audit Internal menurut Hery (2016:266), sebagai berikut :
1.      Tujuan, Kewenangan, dan Tanggungjawab
Tujuan, kewenangan, dan tanggungjawab fungsi audit internal harus dinyatakan secara formal dan Charter Audit Internal, konsisten dengan Standar Profesi Audit Internal (SPAI), dan mendapat persetujuan dari Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi.
2.      Independensi dan Objektivitas
Fungsi dari audit internal harus independen, dan auditor internal harus obyektif dalam melaksanakan pekerjaannya.
a.       Independensi Organisasi
Fungsi audit internal harus ditempatkan pada posisi yang memungkinkan fungsi tersebut memenuhi tanggungjawabnya. Independensi akan meningkat jika fungsi audit internal memiliki akses komunikasi yang memadai terhadap Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi.
b.      Objektivitas Auditor Internal
Auditor Internal harus memiliki sikap mental yang obyektif, tidak memihak dan menghindari kemungkinan timbulnya pertentangan kepentingan (conflict of interest).

c.       Kendala terhadap Prinsip Independent dan Objetivitas
Jika prinsip independensi dan obyektifitas tidak dapat dicapai baik secara fakta maupun dalam kesan, hal ini harus diungkapkan kepada pihak yang berwenang. Teknis dan rincian pengungkapan ini tergantung kepada alasan tidak terpenuhinya prinsip independensi dan objektivitas tersebut.
3.      Keahlian dan Kecermatan Profesional
Penugasan harus dilaksanakan dengan memperhatikan keahlian dan kecermatan profesional.
a.       Keahlian
Auditor Internal harus memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawab perorangan. Fungsi Audit Internal secara kolektif harus memiliki atau memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tanggung jawabnya.
b.      Kecermatan Profesional
Auditor Internal harus menerapkan kecermatan dan keterampilan yang layaknya dilakukan oleh seorang auditor internal yang pruden dan kompeten.
c.       Pengembangan Profesional yang Berkelanjutan (PPL)
Auditor Internal harus meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kompetensinya melalui Pengembangan Profesional yang Berkelanjutan.
4.      Program Jaminan dan Peningkatan Kualitas Fungsi Audit Internal
Penanggungjawab Fungsi Audit Internal harus mengembangkan dan memelihara program jaminan dan peningkatan kualitas yang mencakup seluruh aspek dari fungsi audit internal dan secara terus menerus memonitor efektivitasnya.
a.       Penilaian terhadap Program Jaminan dan Peningkatan Kualitas
Fungsi audit internal harus menyelenggarakan suatu proses untuk memonitor dan menilai efektivitas Program Jaminan dan Peningkatan Kualitas secara keseluruhan. Proses ini harus mencakup penilaian (assessment) internal maupun eksternal.
1)      Penilaian Internal
Penilaian Internal oleh fungsi audit internal harus mencakup:
a)      Review yang berkesinambungan atas kegiatan dan kinerja fungsi audit internal, dan
b)      Review berkala yang dilakukan melalui Self Assessment atau oleh pihak lain dari dalam organisasi yang memiliki pengetahuan tentang standar dan praktik audit internal.
2)      Penilaian Eksternal
Penilaian Eksternal, seperti Quality Assurance Reviews harus dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam dua tahun oleh pihak luar perusahaan yang independen dan kompeten.
b.      Pelaporan Program Jaminan dan Peningkatan Kualitas
Penanggungjawab fungsi audit internal harus melaporkan hasil review dari pihak eksternal kepada Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi.
c.       Pernyataan Kesesuaian dengan SPAI
Dalam laporan kegiatan periodiknya, auditor internal harus memuat pernyataan bahwa aktivitasnya dilaksanakan sesuai dengan Standar Profesi Audit Internal. Pernyataan ini harus didukung dengan hasil penilaian program jaminan kualitas.
d.      Pengungkapan atas Ketidakpatuhan
Dalam hal terdapat ketidak-patuhan terhadap SPAI dan Kode Etik yang mempengaruhi ruang lingkup dan aktivitas fungsi audit internal secara signifikan, maka hal ini harus diungkapkan kepada Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi.
2.2.4.           Standar Kinerja Audit Internal
Berikut ini adalah standar atribut yang harus dimiliki oleh seorang Audit Internal menurut Hery (2016:271), sebagai berikut :
1.      Pengelolaan Fungsi Audit Internal
Penanggungjawab fungsi audit internal harus mengelola fungsi audit internal secara efektif dan efisien untuk memastikan bahwa kegiatan fungsi tersebut memberikan nilai tambah bagi Organisasi.
a.       Perencanaan
Penanggungjawab fungsi audit internal harus menyusun perencanaan yang berbasis risiko (risk-based plan) untuk menetapkan prioritas kegiatan audit internal, konsisten dengan tujuan organisasi.
1)      Rencana penugasan audit internal harus berdasarkan penilaian risiko yang dilakukan paling sedikit setahun sekali. Masukan dari Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi serta perkembangan terkini harus juga dipertimbangkan dalam proses ini.
2)      Rencana penugasan audit internal harus mempertimbangkan potensi untuk meningkatkan pengelolaan risiko, memberikan nilai tambah dan meningkatkan kegiatan organisasi.
b.      Komunikasi dan Persetujuan
Penanggungjawab fungsi audit internal harus mengkomunikasikan rencana kegiatan audit, dan kebutuhan sumber daya kepada Pimpinan dan Dewan Pengawas Organisasi untuk mendapat persetujuan. Penanggungjawab fungsi audit internal juga harus mengkomunikasikan dampak yang mungkin timbul karena adanya keterbatasan sumberdaya.
c.       Pengelolaan Sumberdaya
Penanggungjawab fungsi audit internal harus memastikan bahwa sumberdaya fungsi audit internal sesuai, memadai, dan dapat digunakan secara efektif untuk mencapai rencana-rencana yang telah disetujui.
d.      Kebijakan dan Prosedur
Penanggungjawab fungsi audit internal harus menetapkan kebijakan dan prosedur sebagai pedoman bagi pelaksanaan kegiatan fungsi audit internal.
e.       Koordinasi
Penanggungjawab fungsi audit internal harus berkoordinasi dengan pihak internal dan eksternal organisasi yang melakukan pekerjaan audit untuk memastikan bahwa lingkup seluruh penugasan tersebut sudah memadai dan meminimalkan duplikasi.
f.       Laporan Kepada Pimpinan dan Dewan Pengawas
Penanggungjawab fungsi audit internal harus menyampaikan laporan secara berkala kepada pimpinan dan dewan pengawas mengenai perbadingan rencana dan realisasi yang mencakup sasaran, wewenang, tanggung jawab, dan kinerja fungsi audit internal.
Laporan ini harus memuat permasalahan mengenai risiko, pengendalian, proses governance, dan hal lainnya yang dibutuhkan atau diminta oleh pimpinan dan dewan pengawas.
2.      Lingkup Penugasan
Fungsi audit internal melakukan evaluasi dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan proses pengelolaan risiko, pengendalian, dan governance, dengan menggunakan pendekatan yang sistematis, teratur dan menyeluruh.
a.       Pengelolaan Risiko
Fungsi audit internal harus membantu organisasi dengan cara mengidentifikasi dan mengevaluasi risiko signifikan dan memberikan kontribusi terhadap peningkatan pengelolaan risiko dan sistem pengendalian intern
b.      Pengendalian
Fungsi audit internal harus membantu organisasi dalam memelihara pengendalian intern yang efektif dengan cara mengevaluasi kecukupan, efisiensi dan efektivitas pengendalian tersebut, serta mendorong peningkatan pengendalian intern secara berkesinambungan.
1)      Berdasarkan hasil penilaian risiko, fungsi audit internal harus mengevaluasi kecukupan dan efektivitas sistem pengendalian intern, yang mencakup governance, kegiatan operasi dan sistem informasi organisasi. Hal ini harus mencakup efektivitas dan efisiensi kegiatan operasi, keandalan dan integritas informasi, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengamanan aset organisasi.
2)      Fungsi audit internal harus memastikan sampai sejauh mana sasaran dan tujuan program serta kegiatan operasi telah ditetapkan dan sejalan dengan sasaran dan tujuan organisasi.
3)      Auditor internal harus mereviu kegiatan operasi dan program untuk memastikan sampai sejauhmana hasil-hasil yang diperoleh konsisten dengan tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
4)      Untuk mengevaluasi sistem pengendalian intern diperlukan kriteria yang memadai.
c.       Proses Governance
Fungsi audit internal harus menilai dan memberikan rekomendasi yang sesuai untuk meningkatkan proses governance dalam mencapai tujuan-tujuan berikut:
1)      Mengembangkan etika dan nilai-nilai yang memadai di dalam organisasi
2)      Memastikan pengelolaan kinerja organisasi yang efektif dan akuntabilitas
3)      Secara efektif mengkomunikasikan risiko dan pengendalian kepada unit-unit yang tepat di dalam organisasi.
4)      Secara efektif mengkoordinasikan kegiatan dan mengkomunikasi informasi di antara, pimpinan, dewan pengawas, auditor internal dan eksternal serta manajemen.
Fungsi auditor internal harus mengevaluasi rancangan, implementasi dan efektivitas dari kegiatan, program dan sasaran organisasi yang berhubungan dengan etika.
3.      Perencanaan Penugasan
Auditor internal harus mengembangkan dan mendokumentasikan rencana untuk setiap penugasan yang mencakup ruang lingkup, sasaran, waktu dan alokasi sumberdaya.
a.       Pertimbangan Perencanaan ; dalam merencanakan penugasannya, auditor internal harus mempertimbangkan :
1)      Sasaran dari kegiatan yang sedang dievaluasi dan mekanisme yang digunakan kegiatan tersebut dalam mengendalikan kinerjanya.
2)      Risiko signifikan atas kegiatan, sasaran, sumberdaya, dan operasi yang direviu serta pengendalian yang diperlukan untuk menekan dampak risiko ke tingkat yang dapat diterima.
3)      Kecukupan dan efektivitas pengelolaan risiko dan sistem pengendalian intern.
4)      Peluang yang signifikan untuk meningkatkan pengelolaan risiko dan sistem pengendalian intern.
b.      Sasaran Penugasan; sasaran untuk setiap penugasan harus ditetapkan.
c.       Ruang Lingkup Penugasan; agar sasaran penugasan tercapai maka Fungsi Audit Internal harus mempunyai ruang lingkup penugasan yang memadai.
d.      Alokasi Sumberdaya Penugasan ; auditor internal harus menentukan sumberdaya yang sesuai untuk mencapai sasaran penugasan. Penugasan staf harus didasarkan pada evaluasi atas sifat dan kompleksitas penugasan, keterbatasan waktu, dan ketersediaan sumberdaya.
e.       Program Kerja Penugasan ; auditor internal harus menyusun dan mendokumentasikan program kerja dalam rangka mencapai sasaran penugasan. Program kerja harus menetapkan prosedur untuk mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mendokumentasikan informasi selama penugasan. Program kerja ini harus memperoleh persetujuan sebelum dilaksanakan. Perubahan atau penyesuaian atas program kerja harus segera mendapat persetujuan.
4.      Pelaksanaan Penugasan
Dalam melaksanakan audit, auditor internal harus mengidentifikasi, menganalisis, mengevaluasi, dan mendokumentasikan informasi yang memadai untuk mencapai tujuan penugasan.
a.       Mengidentifikasi Informasi; auditor Internal harus mengidentifikasi informasi yang memadai, handal, relevan, dan berguna untuk mencapai sasaran penugasan.
b.      Analisis dan Evaluasi; auditor internal harus mendasarkan kesimpulan dan hasil penugasan pada analisis dan evaluasi yang tepat.
c.       Dokumentasi Informasi; auditor internal harus mendokumentasikan informasi yang relevan untuk mendukung kesimpulan dan hasil penugasan.
d.      Supervisi Penugasan; setiap penugasan harus disupervisi dengan tepat untuk memastikan tercapainya sasaran, terjaminnya kualitas, dan meningkatnya kemampuan staf.
5.      Komunikasi Hasil Penugasan
Auditor internal harus mengkomunikasikan hasil penugasannya secara tepat waktu.
a.       Kriteria Komunikasi ; harus mencakup sasaran dan lingkup penugasan, simpulan, rekomendasi, dan rencana tindakannya.
b.      Kualitas Komunikasi ; dimana komunikasi yang disampaikan baik tertulis maupun lisan harus akurat, obyektif, jelas, ringkas, konstruktif, lengkap, dan tepat waktu. Jika komunikasi final mengandung kesalahan dan kealpaan, penanggungjawab fungsi audit internal harus mengkomunikasikan informasi yang telah dikoreksi kepada semua pihak yang telah menerima komunikasi sebelumnya.
c.       Pengungkapan atas Ketidakpatuhan terhadap Standar ; komunikasi hasil-hasil penugasan harus mengungkapkan standar yang tidak dipatuhi, alasan ketidakpatuhan, dampak dari ketidakpatuhan terhadap penugasan.
d.      Eminasi Hasil-hasil Penugasan ; penanggungjawab fungsi audit internal harus mengkomunikasikan hasil penugasan kepada pihak yang berhak.
6.      Pemantauan Tindaklanjut
Penanggungjawab fungsi audit internal harus menyusun dan menjaga sistem untuk memantau tindak-lanjut hasil penugasan yang telah dikomunikasikan kepada manajemen. Selain itu audit internal harus menyusun prosedur tindak lanjut untuk memantau dan memastikan bahwa manajemen telah melaksanakan tindak-lanjut secara efektif, atau menanggung risiko karena tidak melakukan tindak-lanjut.
7.      Resolusi Penerimaan Risiko oleh Manajemen
Apabila manajemen senior telah memutuskan untuk menanggung risiko residual yang sebenarnya tidak dapat diterima oleh organisasi, penanggungjawab fungsi audit internal harus mendiskusikan masalah ini dengan manajemen senior. Jika diskusi tersebut tidak menghasilkan keputusan yang memuaskan, maka penanggungjawab fungsi audit internal dan manajemen senior harus melaporkan hal tersebut kepada pimpinan dan dewan pengawas organisasi untuk mendapatkan resolusi.
2.3.            MANAJEMEN RISIKO
2.3.1.           Pengertian Manajemen Risiko
Jika merujuk dari pendapat Dewi Hanggraeni (2015:2), manajemen risiko merupakan suatu rangkaian proses untuk mengidentifikasi, mengukur, memitigasi dan mengontrol risiko usaha dalam pengelolaan suatu institusi atau perusahaan.
Pendapat lain dari Setia Mulyawan (2015:46), manajemen risiko diartikan sebagai seperangkat kebijakan, prosedur yang lengkap, yang dimiliki organisasi, untuk mengelola, memonitor, dan mengendalikan eksposur organisasi terhadap resiko.
Sedangkan jika merujuk pada peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) NOMOR 1/POJK.05/2015 pada Pasal 1 No. 11, mengartikan manajemen risiko sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan Risiko yang timbul dari kegiatan usaha LJKNB (Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank).
2.3.2.           Penerapan Manajemen Risiko
Penerapan manajemen risiko menurut peraturan OJK Peraturan OJK NOMOR 1/POJK.05/2015 pada pasal 2 (2), menyebutkan :
1.      Pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, atau yang setara dari LJKNB;
2.      Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko;
3.      Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko;
4.      Sistem informasi Manajemen Risiko; dan
5.      Sistem pengendalian intern yang menyeluruh.

2.3.3.           Pengelolaan Risiko
Pada dasarnya risiko masih dapat dikelola. Pengelolaan risiko adalah upaya yang sadar untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan bentuk kerugian yang dapat timbul. Ini merupakan upaya yang terus-menerus, karena risiko akan dihadapi oleh siapa saja, baik besar maupun kecil.
Ada tiga tindakan pokok dalam pengelolaan risiko menurut Setia Mulyawan (2015:49), yaitu:
1.      Identifikasi Risiko dan Pemetaan Resiko
Tindakan ini erat kaitannya dengan kemampuan kita untuk menganalisa dan memprediksi berbagai kejadian yang senantiasa dihadapi oleh setiap orang atau Organisasi. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan identifikasi risiko antara lain:
a.       Perusahaan pembiayaan (multifinance) harus mengidentifikasi risiko kredit yang melekat pada seluruh produk dan aktivitasnya. Identifikasi risiko kredit tersebut merupakan hasil kajian terhadap karakteristik risiko kredit.
b.      Untuk kegiatan perkreditan dan jasa pembiayaan perdagangan, penilaian risiko kredit harus memperhatikan kondisi keuangan debitur dan khususnya kemampuan membayar secara tepat waktu, serta jaminan atau agunan yang diberikan.
2.      Analisis dan Evaluasi Risiko
Setelah semua kejadian kita analisa, dan kemungkinan kerugiannya kita ketahui, langkah berikutnya adalah mengukur kerugian-kerugian potensial untuk masa yang akan datang.
3.      Respon atau Reaksi untuk Menanggulangi Risiko
Menegaskan profil resiko dan rencana manajemen, hal ini terkait dengan gaya manajemen dan visi strategis dari organisasi.
2.3.4.           Penerapan Risiko
Pada Pasal 4 (4) Peraturan OJK NOMOR 1/POJK.05/2015 menjelaskan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bagi LJKNB berupa perusahaan pembiayaan wajib diterapkan untuk:
1.      Risiko Strategi
Risiko yang muncul akibat kegagalan penetapan strategi yang tepat dalam rangka pencapaian sasaran dan target utama LJKNB.
2.      Risiko Operasional
Risiko yang muncul sebagai akibat ketidaklayakan atau kegagalan proses internal, manusia, sistem teknologi informasi dan/atau adanya kejadian yang berasal dari luar lingkungan LJKNB.
3.      Risiko Aset dan Liabilitas
Risiko yang muncul sebagai akibat kegagalan pengelolaan aset dan liabilitas LJKNB.
4.      Risiko Kepengurusan
Risiko yang muncul sebagai akibat kegagalan LJKNB dalam memelihara komposisi terbaik pengurusnya, yaitu direksi dan dewan komisaris, atau yang setara, yang memiliki kompetensi dan integritas yang tinggi.
5.      Risiko Tata Kelola
Risiko yang muncul karena adanya potensi kegagalan dalam pelaksanaan tata kelola yang baik (good governance) LJKNB, ketidaktepatan gaya manajemen, lingkungan pengendalian, dan perilaku dari setiap pihak yang terlibat langsung atau tidak langsung dengan LJKNB.
6.      Risiko Dukungan Dana
Risiko yang muncul akibat ketidakcukupan dana atau modal yang ada pada LJKNB, termasuk kurangnya akses tambahan dana atau modal dalam menghadapi kerugian atau kebutuhan dana atau modal yang tidak terduga. 
7.      Risiko Pembiayaan
Risiko yang muncul akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada perusahaan pembiayaan. Risiko ini sering kali disebut sebagai risiko kredit.

2.4.            KREDIT
2.4.1.           Pengertian Kredit
Pengertian kredit mempunyai arti yang beraneka ragam, kata kredit dari bahasa latin “credere” yang berarti kepercayaan, atau credo yang berarti saya percaya. Jadi seandainya seseorang memperoleh kredit, berarti dia memperoleh kepercayaan (trust). Dengan perkataan lain maka kredit mengandung pengertian adanya suatu kepercayaan dari seseorang atau badan yang diberikan kepada seseorang atau badan lainnya yaitu bahwa yang bersangkutan pada masa yang  akan datang memenuhi segala sesuatu kewajiban yang telah diperjanjikan terlebih dahulu.
Menurut Raymont P. Kent (dalam Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, 2013:163), menyatakan bahwa kredit adalah hak untuk menerima pembayaran kewajiban untuk melakukan pembayaran pada waktu diminta, atau pada waktu yang akan datang, karena penyerahan barang-barang sekarang.
Jika menurut pandangan  Rivai et al (dalam Pandia, 2012:169),  kredit adalah penyerahan barang, jasa, atau uang dari satu pihak (kreditur) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain (debitur) dengan janji membayar dari penerima kredit kepada pemberi kredit pada tanggal yang telah disepakati kedua belah pihak.
Sedangkan menurut Kasmir (2014:86) kredit atau pembiayaan dapat berupa uang atau tagihan yang nilainya diukur dengan uang. Dalam perjanjian kredit tercakup hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan bersama. Demikian pula dengan masalah sanksi apabila debitur ingkar janji terhadap perjanjian yang telah dibuat bersama.
2.4.2.           Fungsi Kredit
Menurut Kasmir (2014:89) menyatakan bahwa selain memiliki tujuan pemberian suatu fasilitas kredit, juga memiliki suatu fungsi yang sangat luas, yaitu sebagai berikut:

1.      Untuk  Meningkatkan Daya Guna
Dengan adanya kredit dapat meningkatkan daya guna uang maksudnya jika uang hanya disimpan saja tidak akan menghasilkan sesuatu yang berguna. Dengan diberikan kredit  uang tersebut menjadi berguna untuk menghasilkan barang atau jasa oleh penerima kredit.
2.      Untuk  Meningkatkan Peredaran dan Lalu Lintas Uang
Dalam hal ini uang yang diberikan atau disalurkan akan beredar dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga suatu daerah tersebut akan memperoleh tambahan uang dari daerah lainnya.
3.      Untuk Meningkatkan Daya Guna Barang
Kredit yang diberikan oleh bank akan dapat digunakan oleh si debitur untuk mengelola barang yang tidak berguna menjadi berguna atau bermanfaat.
4.      Meningkatkan Peredaran Barang
Kredit dapat pula menambah atau memperlancar arus barang dari satu wilayah ke wilayah lainnya sehingga jumlah barang beredar bertambah atau kredit dapat pula meningkatkan jumlah barang yang beredar.
5.      Sebagai Alat Stabilitas Ekonomi
Dengan memberikan kredit dapat dikatakan sebagai stabilitas ekonomi karena dengan adanya kredit yang diberikan akan menambah jumlah barang yang diperlukan oleh masyrakat.
6.      Untuk Meningkatkan Kegairahan Berusaha
Bagi si penerima kredit tentu akan dapat meningkatkan  kegairahan berusaha, apalagi bagi si nasabah yang memang modalnya pas-pasan.
7.      Untuk Meningkatkan Pemerataan Pendapatan
Semakin banyak kredit yang disalurkan, akan semakin baik, terutama dalam hal meningkatkan pendapatan. Misalnya juka sebuah kredit diberikan untuk membangun pabrik, maka pabrik tersebut tentu membutuhkan tenaga kerja sehingga dapat pula mengurangi pengangguran. Di samping itu, bagi masyarakat sekitar pabrik juga akan dapat meningkatkan pendapatan.
8.      Untuk Meningkatkan Hubungan Internasional
Dalam hal pinjaman internasional akan dapat meningkatkan saling membutuhkan antara si penerima kredit dengan si pemberi kredit. Pemberian kredit oleh negara lain akan meningkatkan kerja sama di bidang lain.
2.4.3.           Unsur-unsur Kredit
Unsur-unsur kredit yang utama adalah adanya orang atau badan yang memiliki uang, barang atau jasa yang bersedia untuk meminjamkan kepada pihak lain. Orang atau badan demikian lazim disebut kreditur.
Menurut Kasmir (2014:87) terkandung unsur-unsur dalam fasilitas kredit, diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Kepercayaan
Kepercayaan yaitu suatu keyakinan pemberi kredit bahwa kredit yang diberikan (berupa uang, jasa atau barang) akan benar-benar diterima kembali di masa tertentu atau di masa datang.
2.      Kesepakatan
Di samping unsur percaya, dalam kredit juga mengandung unsur kesepakatan antara si pemberi kredit dengan si penerima kredit. Kesepakatan ini dituangkan dalam suatu perjanjian di mana masing-masing pihak menandatangani hak dan kewajiban masing- masing.
3.      Jangka waktu
Setiap kredit yang diberikan memiliki jangka waktu tertentu, jangka waktu ini mencakup masa pengembalian kredit yang telah disepakati. Jangka waktu tersebut bisa dibentuk jangka pendek, jangka menengah atau  jangka panjang.
4.      Risiko
Adanya suatu tenggang waktu pengembalian akan menyebabkan suatu risiko tidak tertagih atau macet pemberian kredit. Semakin panjang suatu kredit semakin besar risikonya, demikian pula sebaliknya. Risiko ini menjadi tanggungan bank, baik risiko yang disengaja oleh nasabah yang lalai, maupun risiko yang tidak sengaja.
5.      Balas Jasa
Balas jasa merupakan keuntungan atas pemberian suatu kredit atau yang kita kenal dengan nama bunga. Balas jasa dalam bentuk bunga dan biaya administrasi kredit ini merupakan  keuntungan bagi bank.
2.4.4.           Jenis-jenis Kredit
Menurut Kasmir (2014:90), dalam praktiknya jenis kredit dilihat dari berbagai segi dapat diklasifikasikan antara lain :
1.      Kredit dilihat dari Segi Kegunaan
Jika dilihat dari segi kegunaannya, jenis kredit terdiri dari :


a.       Kredit Investasi
Biasanya digunakan untuk keperluan perluasan usaha, membangun proyek pabrik baru, atau untuk keperluan rehabilitasi. Contoh kredit investasi misalnya untuk membangun pabrik atau membeli mesin-mesin. Pendek kata masa pemakaiannya untuk suatu periode yang relatif lebih lama.
b.      Kredit Modal Kerja
Digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya. Sebagai contoh kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji pegawai atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi perusahaan.
2.      Kredit dilihat dari Segi Tujuan Kredit
Jika dilihat dari segi tujuan kreditnya, jenis kredit terdiri dari :
a.       Kredit Produktif
Kredit yang digunakan untuk peningkatan usaha atau produksi atau investasi. Kredit ini diberikan untuk menghasilkan barang atau jasa. Sebagai contohnya kredit untuk membangun pabrik yang nantinya akan menghasilkan barang, kredit pertanian akan menghasilkan produk pertanian atau kredit pertambangan menghasilkan barang tambang atau kredit industri lainnya.
b.      Kredit Konsumtif
Kredit yang digunakan untuk dikonsumsi secara pribadi. Dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan jasa yang dihasilkan, karena memang untuk digunakan atau dipakai oleh seseorang atau badan usaha. Sebagai contoh kredit untuk perumahan, kredit mobil pribadi, kredit perabotan rumah tangga, dan kredit konsumsi lainnya.
c.       Kredit Perdagangan
Kredit yang digunakan untuk perdagangan, biasanya untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut. Kredit ini sering diberikan kepada suplier atau agen-agen perdagangan yang akan membeli barang dalam jumlah besar. Contoh kredit ini misalnya kredit ekspor dan impor.
3.      Kredit dilihat dari Segi Jangka Waktu
Jika dilihat dari segi jangka waktunya, jenis kredit terdiri dari :
a.       Kredit Jangka Pendek
Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 (satu) tahun atau paling lama 1 (satu) tahun dan biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja. Contohnya untuk peternakan misalnya kredit peternakan ayam atau jika untuk pertanian misalnya tanaman padi.
b.      Kredit Jangka Menengah
Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 (satu) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun, biasanya untuk investasi. Sebagai contoh kredit untuk pertanian seperti jeruk atau peternakan kambing.
c.       Kredit Jangka Panjang
Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang. Kredit jangka panjang waktu pengembaliannya di atas 3 (tiga) tahun atau 5 (lima) tahun. Biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit atau manufaktur dan untuk kredit konsumtif seperti kredit perumahan.
4.      Kredit dilihat dari Segi Jaminan
Jika dilihat dari segi jaminannya, jenis kredit terdiri dari :
a.       Kredit dengan Jaminan
Kredit yang diberikan dengan suatu jaminan, jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi senilai jaminan yang diberikan si calon debitur.
b.      Kredit Tanpa Jaminan
Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan melihat prospek usaha dan karakter serta loyalitas atas nama baik si calon debitur selama ini.
5.      Kredit dilihat dari Sektor Usaha
Jika dilihat dari sektor usahanya, jenis kredit terdiri dari :
a.       Kredit Pertanian
Merupakan kredit yang dibiayai untuk sektor perkebunan atau pertanian rakyat. Sektor usaha pertanian dapat berupa jangka pendek atau jangka panjang.
b.      Kredit Peternakan
Kredit peternakan dalam hal ini untuk jangka pendek misalnya peternakan ayam dan jangka panjang kambing atau sapi.
c.       Kredit Industri
Merupakan kredit untuk membiayai industri kecil, menengah atau besar.
d.      Kredit Pertambangan
Jenis usaha tambang yang dibiayainya biasanya dalam jangka panjang, seperti tambang emas, minyak atau timah.
e.       Kredit Pendidikan
Merupakan kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau dapat pula berupa kredit untuk para mahasiswa.
f.       Kredit Profesi
Kredit Profesi diberikan kepada para profesional seperti, dosen, dokter atau pengacara.
g.      Kredit Perumahan
Merupakan kredit untuk membiayai pembangunan atau pembelian perumahan.
2.4.5.           Prinsip-prinsip Pemberian Kredit
Sebelum fasilitas kredit diberikan, maka pihak bank ataupun LKNB (Lembaga Keuangan Non-Bank) harus merasa yakin bahwa kredit yang diberikan benar-benar akan kembali. Keyakinan tersebut diperoleh dari hasil penilaian kredit sebelum kredit tersebut disalurkan.
Menurut Kasmir (2014:95), penilaian tersebut menggunakan beberapa prinsip, yaitu prinsip 5C dan prinsip 7P.
1.      Prinsip 5C
Prinsip pemberian kredit dengan konsep 5 C ini, meliputi :
a.       Character (Watak / Kepribadian)
Character merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat atau watak dari seseorang yang akan diberikan kredit benar-benar harus dipercaya. Dalam hal ini perusahaan meyakini benar bahwa calon debiturnya memiliki reputasi baik,  artinya selalu menepati janji dan tidak terlibat hal-hal yang berkaitan dengan kriminalitas, misalnya penjudi, pemabuk, atau penipu. Untuk dapat membaca sifat atau watak dari calon debitur dapat dilihat sari latar belakang konsumen, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan jiwa sosial.
b.      Capacity (Kemampuan)
Capacity adalah analisis untuk mengetahui kemampuan konsumen dalam membayar kredit. Perusahaan multifinance harus mengetahui secara pasti atas kemampuan calon debitur (customer) dengan melakukan analisis usahanya dari waktu ke waktu.
c.       Capital (Modal)
Untuk melihat penggunaan modal apakah efektif atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan laba rugi) yang disajikan  dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya.
d.      Collateral (Jaminan atau Agunan)
Merupakan jaminan yang diberikan customer baik yang bersifat fisik maupun nonfisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahannya dan kesempurnaanya,  sehingga  jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin.
e.       Condition of Economic (Kondisi Perekonomian)
Condition of Economic, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya yang mempengaruhi usaha customer di kemudian hari.
2.      Prinsip 7P
Prinsip pemberian kredit dengan konsep 7 P ini, meliputi :
a.       Personality (Kepribadian)
Personality (kepribadian) adalah sifat dan perilaku yang dimiliki customer yang mengajukan permohonan kredit bersangkutan, dipergunakan sebagai bahan pertimbangan pemberian kredit. Kepribadian customer ini dapat diketahui dengan mengumpulkan informasi tentang keturunan, pekerjaan, pendidikan, dan pergaulannya. Menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau tingkah lakunya sehari-hari maupun masa lalunya. Personality juga mencakup sikap, emosi, tingkah laku dan tindakan nasabah dalam menghadapi suatu masalah.
b.      Party
Mengklasifikasikan customer dalam klasifikasi tertentu atau golongan-golongan tertentu berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya.
c.       Purpose (Tujuan)
Purpose (tujuan) adalah tujuan dan penggunaan kredit oleh customer ini akan menjadi hal yang menentukan apakah permohonan calon debitur disetujui atau ditolak. 
d.      Prospect
Untuk menilai usaha customer di masa yang akan datang menguntungkan dan mempunyai prospek atau sebaliknya. Prospect adalah prospek perusahaan dimasa datang, apakah akan menguntungkan atau merugikan.
e.       Payment
Payment (pembayaran) adalah mengetahui bagaimana pembayaran kembali kredit yang diberikan hal ini dapat diketahui jika analisis kredit memperhitungkan kelancaran penjualan dan pendapatan customer sehingga dapat memperkirakan kemampuannya untuk membayar kembali kredit tersebut sesuai dengan perjanjian.
f.       Profitability
Untuk menganalisis bagaimana kemampuan customer dalam mencari laba. Profitability diukur dari periode ke periode apakah akan tetap sama atau akan semakin meningkat.
g.      Protection
Dimaksudkan untuk berjaga-jaga terhadap hal-hal yang tidak diduga sebelumnya, maka bank perlu melindungi kredit yang diberikan dengan jalan meminta jaminan (collateral) dari debitur atau jaminan dari asuransi, baik dari sisi jaminan maupun dari sisi kreditnya.
2.4.6.           Tahap-tahap Pemberian Kredit
Sebelum kredit disalurkan kepada nasabah, ada beberapa tahapan yang harus dilakukan oleh perusahaan pembiayaan (multifinance). Menurut Indra (2014) tahapan-tahapan pemberian kredit adalah sebagai berikut:
1.      Tahap Permohonan
Yaitu proses dimana customer mengajukan aplikasi kepada perusahaan pembiayaan. Dan dari sana ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pihak Multifinance diantaranya adalah :
a.       Sisi Aplikasi
1)      Double Funding Checking
Pihak multifinance akan mengecek apakah aplikasi yang diajukan sudah ada sebelumnya dengan nama yang sama dan asset yang sama.
2)      Kelengkapan Dokumen
Para customer diharuskan untuk menyerahkan beberapa hal untuk di cek oleh multifinance untuk mengecek kelayakan customer. Diantaranya adalah KTP, KK, Surat keterangan kerja, slip gaji, buku tabungan, dan sebagainya.
3)      Pricelist
Harga yang siap dibiayai oleh multifinance berbeda di tiap kota sesuai dengan ketentuan masing-masing multifinance.
4)      Collateral
Pihak multifinance akan mengecek jaminan dari customer. Biasanya multifinance akan melakukan penarikan asset apabila debitur tidak sanggup menyelesaikan atau membayar pinjaman tepat pada waktunya. 
b.      Sisi Pelanggan (customer)
1)      Blacklist Customer
Multifinance akan mengecek daftar blacklist dari beberapa sumber.
a)      Internal
(1)   Write Off : customer memiliki kredit macet yang tidak dapat ditagih.
(2)   Repossess: pada pinjaman sebelumnya, customer pernah ditarik asetnya.
(3)   Overdue DPD > n: pembayaran yang melampaui batas waktu jatuh tempo.
(4)   Warning List: daftar peringatan
(5)   Reject: nama customer sebelumnya pernah ditolak dikarenakan alasan-alasan tertentu.
(6)   Cancel: pembatalan sebuah aplikasi berdasarkan keputusan dari customer atau multifinance
(7)   PDC Bounce: Nama customer pernah tercatat gagal melakukan pembayaran karena pembayaran ditolak atau cek ditolak.
b)      External
(1)     Group / Holding List : list dari group
(2)     BI List : list dari Bank Indonesia
(3)     Other Source : Sumber lainnya 
2)      Credit Scoring
Penilaian yang diberikan kepada customer berdasarkan kategori masing-masing multifinance. Seperti tempat tinggal customer (milik sendiri atau punya orang lain), kendaraan yang dimiliki (miliki sendiri atau punya orang lain), jabatan customer, dan sebagainya.
3)      Passing Grade
Dalam penilaian customer ini setiap multifinance mempunyai standard passing grade apakah customer akan diloloskan ataupun tidak. Passing grade hanya sebagai acuan.
4)      Guarantor
Penjamin yang akan membayar hutang debitur apabila tidak sanggup melunasi hutangnya.
5)      Customer Duplication Checking
Pengecekan apakah customer sedang mempunyai hutang di 1 (satu) multifinance yang sama dengan tempat pengajuan aplikasi.
c.       Schedule
1)      Step Up or Step Down
Apakah customer ingin mempunyai cicilan yang besarnya berubah dari waktu ke waktu selama periode pembiayaan.
2)      Balloon Payment
Apakah customer ingin system dimana sebagian dari total pinjaaman akan dicicil dan sisanya akan dilunasi sekaligus di akhir periode.
3)      Grace Periode
Masa dimana waktu toleransi diberikan kepada customer setelah waktu jatuh tempo.
d.      Plafond
Nilai pinjaman maksimum yang diberikan kepada customer. Pemberian plafond ini dipengaruhi beberapa hal sesuai dengan kriteria multifinance masing-masing.
1)      Personal Customer
a)      Customer Relatives
Multifinance akan melihat apakah ada anggota keluarga yang juga masih terikat kontrak.
b)      Customer Level
Jabatan customer dalam pekerjaan ataupun penghasilan mempengaruhi plafon.
c)      Agreement level
Banyaknya tenor yang ingin diambil oleh calon debitur yang menentukan keputusan pemberian dana atau plafon.
2)      Corporate Customer
a)      Corporate Group Level
Posisi grup perusahaan di industry apabila perusahaan tergabung dalam sebuah grup. 
b)      Corporate Level
Posisi perusahaan di grup apabila tergabung dalam sebuah grup perusahaan.
c)      Agreement Level
Banyaknya tenor yang ingin diambil oleh calon debitur yang menentukan keputusan pemberian dana atau plafon.
2.      Tahap Pengikatan
Adapun apabila pembiayaan telah disetujui maka selanjutnya adalah terbentuk kontrak.
a.       Collateral
Jaminan yang mungkin bisa disita apabila ternyata calon pelanggan benar-benar tidak bisa memenuhi kewajibannya. Mekanisme perputaran collateral untuk consumer finance khususnya pembiayaan roda dua atau empat, yaitu :
1)      Collateral diterima dari dealer.
2)      Collateral dikirimkan ke atau diterima dari Cabang atau HO (Head Office).
3)      Collateral disimpan atau dikeluarkan dari locker.
4)      Collateral dikirimkan ke atau diterima dari Biro Jasa.
5)      Collateral dikirimkan ke atau diterima dari Bank atau Funding.
6)      Customer mengambil collateral.
Alternatif penyimpanan collateral biasanya multifinance menitipkan ke Bank atau Funding untuk alasan keamanan.
b.      3rd Party (third party)
Adalah pihak-pihak yang termasuk ke dalam hulu hilir collateral, yaitu :
1)      Dealer atau Supplier
2)      Biro Jasa (dalam hal ini juga Biro Jasa membantu dalam balik nama)
3)      Funding: sumber pembiayaan, biasanya bank.
4)      Customer
c.       Fiducia
Proses lainnya yang harus dilakukan oleh multifinance adalah pengesahan Fiducia. Biasanya dari Multifinance akan mencetak fiducia lalu dikirimkan ke notaris untuk diproses, yang kemudian dikembalikan lagi ke pihak Multifinance. Fiducia merupakan pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Ada beberapa perubahan yang dapat dilakukan di tengah jalan saat kontrak masih berlaku sesuai dengan kesepakatan bersama, antara lain :
a.       Restructure
1)      Floating Rate Adjustment
Penyesuaian bunga pinjaman di tengah-tengah kontrak berjalan.
2)      Change Installment Due Date
Mengganti tanggal jatuh tempo pembayaran pinjaman.
3)      Partial Repayment
Pembayaran 1 kontrak dengan 2 PDC ataupun sebaliknya.
4)      Top Up
Meningkatkan jumlah plafon maximal yang dimiliki saat ini.
5)      Lease Periode Adjustment
Mengganti lama periode cicilan atau jumlah tenor cicilan.
b.      Perubahan Kontrak
1)      Early Termination
Penyelesaian kontrak dengan waktu yang lebih cepat dari waktu yang telah disepakati sebelumnya.
2)      Refinancing or Repeat Order
Proses melunasi pinjaman yang ada dengan mengambil pinjaman baru dan menggunakan property yang sama sebagai jaminan. Strukur pinjaman lama diganti untuk memperoleh suku bunga atau jumlah angsuran yang lebih kecil.
3)      Funding (sumber pembiayaan)
4)      Over Contract
Memindahkan nama tanggung jawab kontrak kepada orang lain sesuai kesepakatan dengan orang tersebut.
5)      Write Off
Kontrak dianggap selesai dikarenakan pinjaman atau kredit macet yang tidak dapat ditagih lagi.
c.       Cara Pembayaran
1)      Auto-Allocation
Pembayaran pinjaman dengan auto allocation menurut bunga dan pinjaman pokoknya. Contoh Alokasi :
a)      Utamanya dibayarkan ke installment baru pembayaran charge lainnya dan apabila ada lebih akan dijadikan customer deposite.
b)      Utamanya dibayarkan ke installment, lalu dibayarkan ke installment selanjutnya, jika ada lebih baru dibayarkan charge lainnya.
2)      Cash atau Bank Receive
Cara pembayaran dengan menyetor uang ke Bank.
3)      PDC
Pembayaran dengan cek yang telah ditentukan tanggal berlakunya.
4)      Virtual Account
Pihak multifinance akan membuat virtual account dimana seluruh customer akan membayar melalui account tersebut.
5)      Payment by Collector
Pembayaran dengan cara ditagih oleh kolektor.
3.      Tahap Collection
Pada masa kontrak berjalan, customer diharuskan membayar pinjamannya sesuai dengan kontrak yang ada. Berikut di bawah ini adalah hal-hal yang akan dilakukan oleh multifinance :
a.       Daily Collection
1)      Desk Collection
Petugas akan mengingatkan tanggal jatuh tempo dari cicilan debitur dan dilakukan dengan media telepon.
2)      Daily Collection Report (DCR)
Daftar kunjungan yang dikumpulkan dan diberikan ke petugas untuk mendatangi customer untuk mengingatkan atau menagih pinjaman, atau sekedar mengecek kembali situasi customer. Biasa disebut juga dengan laporan kunjungan harian. Daily Collection Report juga  biasa dikenal dengan Field Collector.
b.      Advanced Collection
1)      Remedial
Collector akan eksekusi object Jaminan Fidusia dengan cara mengambil barang jaminan debitur. Penanganan ini lebih menekankan pada penarikan unit tapi tidak menutup kemungkinan menerima angsuran jika konsumen ternyata bisa melakukan pembayaran angsuran.
2)      SP & SKT
Customer dengan catatan telat pembayaran akan diberikan Surat Peringatan (SP) yang biasa sampai dengan SP3. Setelah itu akan dikeluarkan Surat Kuasa Tarik (SKT).
3)      Repossess Asset
Proses pengambilan atau penarikan asset yang diajukan debitur pada saat penunggakan pembayaran cicilan dalam jangka waktu yang telah ditentukan. Aset tersebut akan dimasukkan inventory multifinance.
2.4.7.           Kredit Bermasalah
Berbagai kemungkinan yang perlu diperhatikan, agar kredit macet pada multifinance tidak terjadi, yaitu :
1.      Konsumen kurang memahami produk dan belum memahami transaksi pembiayaan konsumen dengan benar.
2.      Perusahaan multifinance kurang atau tidak detail dalam memberikan layanan informasi produk dan pendukung lainnya seperti asuransi, keterlambatan pemabayaran, dan lain-lain. Sehingga ketidaktahuan konsumen terkadang membawa dampak negatif pada kedua pihak.
3.      Lemahnya penerapan prinsip mengenal calon nasabah dan budaya perusahaan, yang mengakibatkan pemberiaan data fiktif atau penyalahgunaan wewenang.
4.      Dalam pemberian kredit tidak dilakukan metode analisis yang komprehensif, analisis kredit pada konsumen tidak atau kurang komprehensif dan hal ini apabila mengakibatkan macet, maka akan melibatkan perbankan. NPL (Non Performing Loan) yang semakin besar cenderung akan mengganggu kinerja perusahaan dan pihak perbankan, kerena perusahaan multifinance  pasti memperoleh dukungan pinjaman dari perbankan.
5.      Adanya konflik antara pihak perbankan dengan multifinance, dapat memicu terjadinya kredit macet.
2.4.8.           Penyelesaian Masalah dalam Kredit Bermasalah
Pada saat kredit yang dilakukan oleh customer mengalami kredit yang bermasalah, ada beberapa penyelesaian dapat dilakukan oleh perusahaan multifinance, yaitu :
1.      Jalur Litigasi
Jalur ini ditempuh apabila jalur non-litigasi tidak dapat dilakukan. Penyelesaian kredit bermasalah di pengadilan tercantum dalam klausul perjanjian yang telah disepakati oleh kedua pihak. 
Konsumen yang tidak puas akan penyelesaian kredit yang dilakukan oleh perusahaan multifinance, konsumen dapat menggugat perusahaan multifinance ke pengadilan jika merasa dirugikan atas cara yang digunakan oleh perusahaan multifinance untuk menyelesaikan kreditnya. Penyelesaian masalah ditempuh melalui jalur hukum yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Berikut ini jalur litigasi dapat ditempuh menurut Iswi Haryani dalam Pertiwi Srijayanti Patanden (2012:66) dengan cara, antara lain:
a.       Penyerahan kredit bermasalah kepada Kantor Pelayanan Kekayaan dan Lelang Negara (KPKLN)
b.      Proses gugatan perdata lewat Pengadilan Negeri atau Pengadilan Niaga
c.       Penyelesaian melalui Badan Arbitrase (perwasitan) atau Badan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
2.      Jalur Non-litigasi
Penyelesaian kredit bermasalah ditempuh di luar jalur hukum seperti negosiasi, mediasi, konsultasi, penilaian atau meminta pendapat ahli, evaluasi netral dini (early neutral evaluation), pencarian fakta netral (neutral fact finding). Yang banyak dilakukan perusahaan untuk menyelesaikan masalah adalah negoisasi dan musyawarah yaitu perusahaan pembiayaan selalu berusaha untuk menyelesaikan kredit bermasalah dengan cara persuasif yaitu melakukan pendekatan kepada konsumen untuk membayar angsuran atau menyelesaikan kreditnya dengan perusahaan pembiayaan.
Berikut ini proses non-litigasi menurut Iswi Haryani dalam Pertiwi Srijayanti Patanden (2012:61), adalah :
a.       Negosiasi, yaitu upaya penyelesaian sengketa tanpa melalui proses peradilan dengan tujuan mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerjasama yang lebih harmonis  dan kreatif.
b.      Mediasi, yaitu suatu proses dimana pihak luar yang tidak memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan.
c.       Arbitrase, yaitu metode penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan memakai jasa wasit atas persetujuan para pihak yang bersengketa dan keputusan wasit mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
d.      Penagihan, yaitu dengan menggunakan jasa penagih utang swasta (debt collector).



2.5.            PENELITIAN TERDAHULU
Terdapat tiga penelitian terdahulu yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
Tabel II.1
Rekapitulasi Penelitian Terdahulu

No
Nama
(Tahun)
Judul
Hasil Penelitian
Keterangan
1
Ika Caya Putri
(2010)
Pengaruh Penerapan Manajemen Risiko Perbankan dan Penerapan Audit Internal Terhadap Kebijakan Pemberian Kredit
Jenis Penelitian
Kuantitatif (korelasi)
Variabel Independen
Manajemen Risiko
Audit Internal
Variabel Dependen
Kredit
Kesimpulan
Manajemen risiko memiliki pengaruh positif terhadap pemberian kredit
Audit internal memiliki pengaruh negatif terhadap pemberian kredit
2
A’ Yunur Rochimah
(2014)
Penerapan Manajemen Risiko (Risk Management) untuk Meminimalkan Kredit Bermasalah pada Bank Jatim Cabang Bondowoso
Jenis Penelitian
Kualitatif (purposive sampling)
Kuantitatif (korelasi)
Variabel Independen
Tingkat Suku Bunga
Kolektabilitas
Prosedur Pembiayaan Kredit
Karakter Nasabah
Usaha Nasabah
Jaminan
Variabel Dependen
Kredit Bermasalah
Kesimpulan
Implementasi manajemen risiko pada Bank Jatim Cabang Bondowoso terbilang cukup baik dan sesuai dengan kebijakan dan aturan yang berlaku, hasil uji Z dimana 3 variabel (intern) penyebab kredit bermasalah (tingkat suku bunga, kolektibilitas, dan prosedur pemberian kredit)
Tabel ini berlanjut kehalaman berikut :
Tabel II.1 (Lanjutan)

No
Nama (Tahun)
Judul
Hasil Penelitian
Keterangan




merupakan variabel yang tidak signifikan terhadap penyebab kredit bermasalah.
2
A’ Yunur Rochimah
(2014)
Penerapan Manajemen Risiko (Risk Management) untuk Meminimal
kan Kredit Bermasalah pada Bank Jatim Cabang Bondowoso
Jenis Penelitian
Kualitatif (purposive sampling)
Kuantitatif (korelasi)
Variabel Independen
Tingkat Suku Bunga
Kolektabilitas
Prosedur Pembiayaan Kredit
Karakter Nasabah
Usaha Nasabah
Jaminan
Variabel Dependen
Kredit Bermasalah
Kesimpulan
Implementasi manajemen risiko pada Bank Jatim Cabang Bondowoso terbilang cukup baik dan sesuai dengan kebijakan
dan aturan yang berlaku, hasil uji Z dimana 3 variabel (intern) penyebab kredit bermasalah (tingkat suku bunga, kolektibilitas, dan prosedur pemberian kredit) merupakan variabel yang tidak signifikan terhadap penyebab kredit bermasalah.
Terdapat enam variable independen yang digunakan untuk mengetahui pengaruh terhadap variable dependen [kredit bermasalah (Y)], variabel independen tersebut antara lain:
tingkat suku bunga (X1), kolektibilitas (X2), prosedur pembiayaan kredit (X3),
karakter nasabah (X4), usaha nasabah (X5) dan jaminan (X6).
Tabel ini berlanjut kehalaman berikut :



Tabel II.1 (Lanjutan)

No
Nama (Tahun)
Judul
Hasil Penelitian
Keterangan




Faktor-faktor penyebab terjadinya kredit bermasalah pada Bank Jatim Cabang Bondowoso terdiri dari karakter nasabah (X4), usaha nasabah (X5) dan jaminan (X6). Namun yang paling dominan adalah karakter nasabah (X4).
3

Akbar Pribowo
(2007)

Peranan Audit Internal di Dalam Menunjang Efektivitas Pengendalian Internal Kredit Investasi (Studi Kasus Pada PT. BNI 46 (Persero) Cabang Asia-Afrika-Bandung)

Jenis Penelitian
Kuantitatif (Kuesioner)
Variabel Independen
Variabel Dependen
Audit Internal
Pengendalian Internal Kredit Investasi
Kesimpulan
Hasil analisis menunjukkan kefektivitasannya sebesar 77,42 % dan 76,77% sehingga peranan audit internal dalam menunjang efektivitas pengendalian internal kredit investasi telah berperan sebesar 82% maka hipotesis yang dikemukakan sebelumnya dilaksanakan dengan memadai. Kekurangannya adalah masih perlu pembinaan terhadap objek yang diaudit khususnya bagian yang berkaitan dengan pengelolaan kredit investasi tentang pentingnya pemeriksaan yang dilakukan oleh SKAI, sehingga dapat membantu di dalam proses audit.
Sumber : Diolah dari Berbagai Sumber (2016)
Berdasarkan data dari hasil penelitian terdahulu pada halaman sebelumnya, disini terdapat beberapa perbedaan dan persamaan dari ketiga peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan judul penelitian yang penulis ambil saat ini. Pertama, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ika Caya Putri (2010) dengan tujuan penilitiannya untuk mengetahui signifikasi penerapan manajemen risiko dan audit internal dalam kebijakan pemberian kredit. Terdapat persamaan dari penelitian yang dilakukan penulis, yaitu Peranan audit internal dan manajemen risiko untuk efektivitas pengelolaan kredit.
Disamping itu juga terdapat perbedaan dari penelitian yang dilakukan penulis, yaitu Kredit yang di analisis adalah kredit pinjaman dana tunai (kredit loan) untuk modal usaha nasabah, sedangkan untuk penilitian yang dilakukan penulis saat ini terfokus untuk pengkreditan barang elektronik dengan proses pengajuan yang berbeda.
Kedua, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh A’Yunur Rochimah (2014) dengan tujuan penelitiannya untuk mengetahui menggambarkan implementasi atau penerapan manajemen risiko Bank Jatim Cabang Bondowoso dalam meminimalkan kredit bermasalah serta mengetahui pengaruh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah pada Bank Jatim Cabang Bondowoso.
Terdapat persamaan pada fokus pembahasannya dalam bidang kredit bermasalah dan metode pengukurannya juga memiliki persamaan yaitu dengan menggunakan data kuantitatif (kuesioner), hanya saja dalam penelitiannya dikombinasikan dengan data kualitatif. Sedangkan untuk variabel independen yang dijadikan pengukuran hanya fokus pada sisi manajemen risiko saja, tidak termasuk dengan peranan dari pihak audit internal.
Ketiga, penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Akbar Pribowo (2007) yang tujuan penelitiannya adalah untuk memperoleh gambaran tentang efektivitas audit internal, efektivitas pengendalian internal kredit investasi dan bagaimana peranan audit internal di dalam menunjang efektivitas pengendalian internal kredit investasi. Terdapat persamaan dalam pengumpulan datanya yaitu dengan cara kuantatif (kuesioner), dengan variabel independen yang sama yaitu audit internal dan variabel dependen yang sama pula yaitu kredit.
Hanya saja, terdapat sedikit perbedaan yaitu dari variabel independennya hanya terfokus pada divisi audit internal saja tidak dengan manajemen risiko dan kredit yang dijadikan penganalisaan hanya terfokus untk kredit investasi saja, sedangkan penelitian yang dilakukan penulis adalah terfokus untuk kredit barang-barang elektronik.

2.6.            KERANGKA KONSEPTUAL
Guna memberikan gambaran secara komprehensif terhadap variabel yang menjadikan fokus pembahasan, maka freamwork pada penelitian ini disajikan pada gambar di halaman selanjutnya.
  

Gambar II.1
Kerangka Konseptual


 Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, maka penelitian ini tergolong penelitian kausatif (causative). Penelitian ini menguji hubungan antara variabel independen (X) dengan variabel dependen (Y). Penelitian ini berusaha menjelaskan Peranan Audit Internal (X1) dan Manajemen Risiko (X2) sebagai variabel independen terhadap Efektivitas Pengelolaan Kredit pada PT. Home Credit Indonesia sebagai variabel dependen.
Peranan audit internal sangat dibutuhkan dalam pemprosesan penerimaan kredit agar dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan peraturan pengajuan kredit yang sudah ditentukan perusahaan, serta untuk menghindari terjadinya kredit bermasalah atau kredit macet. Disamping itu perlunya pengawasan dari pihak manajemen dari dalam maupun luar perusahaan untuk mencegah terjadinya kredit bermasalah tersebut, kecurangan, penggelapan aset, sehingga dapat tercapainya target perusahaan yang GCG (going concern governance).
Dengan demikian perusahaan menerapkan standarisasi dalam proses penerimaan pengajuan data kredit dari customer sampai dengan pengajuan kredit yang dapat diterima setelah melewati proses yang berlaku. Efektivitas pengelolaan kredit dapat terwujud dengan baik dan mengurangi resiko kredit macet atau kredit bermasalah yang akan berdampak kerugian bagi perusahaan.

2.7.            HIPOTESIS
Sebagai jawaban sementara (tentatif) berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis yang diajukan oleh penulis adalah sebagai berikut:
Ho1 :  Diduga tidak terdapat pengaruh secara parsial dari peranan audit internal terhadap efektivitas pengelolaan kredit pada perusahaan PT. Home Credit Indonesia.
Ha1 :  Diduga terdapat pengaruh secara parsial dari peranan audit internal terhadap efektivitas pengelolaan kredit pada perusahaan PT. Home Credit Indonesia.
Ho2 :  Diduga tidak terdapat pengaruh secara parsial dari manajemen risiko terhadap efektivitas pengelolaan kredit pada perusahaan PT. Home Credit Indonesia.
Ha2 :  Diduga terdapat pengaruh secara parsial dari manajemen risiko terhadap efektivitas pengelolaan kredit pada perusahaan PT. Home Credit Indonesia.
Ho3Diduga tidak terdapat pengaruh secara simultan dari peranan audit internal dan manajemen risiko terhadap efektivitas pengelolaan kredit pada perusahaan PT. Home Credit Indonesia.
Ha3Diduga terdapat pengaruh secara simultan dari peranan audit internal dan manajemen risiko terhadap efektivitas pengelolaan kredit pada perusahaan PT. Home Credit Indonesia.



Sumber :
A’ Yunur, Rochimah. 2014. Penerapan Manajemen Risiko (Risk Management) untuk Meminimalkan Kredit Bermasalah pada Bank Jatim Cabang Bondowoso. Skripsi. Surabaya : UIN Sunan Ampel
Akbar Pribowo. 2007. Peranan Audit Internal di Dalam Menunjang Efektivitas Pengendalian Internal Kredit Investasi (Studi Kasus pada PT. BNI 46 (Persero) Cabang Asia-Afrika-Bandung). Skripsi. Bandung : Universitas Widyatama.
Dewi, Hanggraeni. 2015. Manajemen Risiko Perusahaan (Enterprise Risk Management) dan Good Corporate Governance. Jakarta : Universitas Indonesia.
Frianto, Pandia. 2012. Manajemen Dana Dan Kesehatan Bank. Jakarta : Rineka Cipta.
Hery. 2016. Auditing dan Asurans. Jakarta : Grasindo.
Ika Caya Putri. 2010. Pengaruh Penerapan Manajemen Risiko Perbankan dan Penerapan Audit Internal terhadap Kebijakan Pemberian Kredit. Skripsi. Tangerang : UIN Syarif Hidayatullah.
Indra. 2014. Tahapan Proses dalam Multifinance. Available Online at  Http://www.ilmupembiayaan.info/tahapan-proses-dalam-multifinance/. Diakses 9 Mei 2016.
Kasmir. 2014. Analisis Laporan Keuangan. Edisi Satu. Cetakan Ketujuh. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Messier, William F., Steven M. Glover, dan Douglas F. Prawitt. 2014. Jasa Audit dan Assurance : Pendekatan Sistematis. Buku 1, Edisi 8. Jakarta : Salemba Empat.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.05/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Lembaga Jasa Keuangan Non-Bank.
Pertiwi, Srijayanti P. 2012. Pembiayaan Konsumen dalam Bentuk Pinjaman Tunai yang Dilakukan oleh Perusahaan Pembiayaan. Skripsi. Makassar : Universitas Hasannudin
Sawyer, Lawrence B. 2012. Internal Auditing. Buku Satu. Edisi Enam. Jakarta : Salemba Empat.
Setia, Mulyawan. 2015. Manajemen Risiko. Bandung : Pustaka Setia.
Sukrisno, Agoes. 2012. Auditing Petunjuk Praktis Pemeriksaan Akuntan oleh Akuntan Publik. Jilid 1. Edisi Keempat. Jakarta : Salemba Empat.
Thamrin Abdullah dan Francis Tantri. 2013. Manajemen Pemasaran. Cetakan II. Jakarta : Raja Grafindo Persada.


Untuk lengkap BAB III - V, bisa PM ya guys.. happy reading 😆😆😆 
terimakasih sudah berkunjung
don't forget to like and share 👌


::Artikel Lainnya:: 

hanaqyen. Diberdayakan oleh Blogger.

Motivasi

Focus - Wishes - Trying - Praying

Sponsor